Sabtu, 08 Februari 2014

Tingkah laku Jangkrik | Laporan Biologi




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Perilaku Jangkrik berupa “ bertindak, bereaksi, atau berfungsi dalam suatu cara teretentu sebagai respon terhadap beberapa rangsangan (stimulus)”. Banyak perilaku memang terdiri atas aktivitas otot yang dapat diamati secara eksternal, yaitu komponen “bertindak” dan “bereaksi”.
            Perilaku (behavior) sebagai apa yang dilakukan oleh hewan dan bagaimana hewan tersebut melakukannya, definisi ini akan meliputi komponen perilaku yang tidak berkaitan dengan pergerakan dan juga tindakan hewan yang dapat diamati (Campbell.2004). Ilmu perilaku hewan, pada keseluruhannya merupakan kombinasi kerja-kerja laboratorium dan pengamatan di lapangan, yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan disiplin ilmu-ilmu tertentu semisal neuroanatomi, ekologi, dan evolusi. Seorang ahli perilaku hewan umumnya menaruh perhatian pada proses-proses bagaimana suatu jenis perilaku (misalnya agresi) berlangsung pada jenis-jenis hewan yang berbeda. Meski ada pula yang berspesialisasi pada tingkah laku suatu jenis atau kelompok kekerabatan hewan yang tertentu.
            Oleh karena itu, jangkrik di gunakan sebagai bahan dalam mengamati prilaku agonistik dan organisasi sosial, karena jangkrik memiliki variasi  tingkah laku yang luas, bergerak aktif, dan mudah di dapat.
1.2 Tujuan
·           Dapat menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan tingkah laku agonistik dan organisasi sosial pada jangkrik.
·           Dapat mendeskripsikan pola tingkah laku tersebut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Perilaku Agonistik dan Organisasi Sosial pada Jangkrik
           Semua tingkah laku yang mengarah kepada terjadinya perkelahian pada hewan-hewan satu spesies disebut tingkah laku agonistik (Price, 1975 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007). Menurut Konrad Lorenz (1996) dalam Susilowati, dkk. (2001), insting berkelahi pada hewan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, saraf, dan hormon. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan.
Fungsi umum dari tingkah laku agonistik adalah penyesuaian diri untuk kondisi konflik yang terjadi dalam satu spesies (Susilowati, 2001). Aspek-aspek yang ada dalam tingkah laku agonistik antara lain ancaman, pengejaran, dan pertarungan fisik. Pada dasarny
Tingkah laku agonistik tersebut merupakan kompetisi untuk beberapa sumber, yaitu makanan, air, pasangan, dan tempat tinggal untuk tempat bersarang, perlindungan selama musim dingin atau terhadap predator (Drickamer dan Vessey, 1982 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007).
           Perilaku sosial hewan yang didefinisikan secara luas adalah setiap jenis interaksi antara dua hewan atau lebih, umumnya dari spesies yang sama.
1.         Perilaku Agonistik
Perilaku agonistik adalah suatu pertandingan yang melibatkan baik perilaku yang mengancam maupun yang menentukan pesaing mana yang mendapatkan akses ke beberapa sumber daya, seperti makanan atau pasangan kawin. Banyak perilaku tersebut melibatkan ritual, penggunaan aktivitas simbolik, sehingga biasanya tidak ada bahaya yang serius yang dilakukan oleh pihak-pihak yang beradu. Contohnya  jangkrik jantan yang memperebutkan jangkrik betina dengan perkelahian tetapi perkelahian itu tidak berujung pada kematian.

2.         Hirarki Dominansi
Banyak hewan hidup dalam kelompok sosial yang dipertahankan oleh perilaku agonistik. Contohnya adalah ayam. Jika beberapa ayam betina yang tidak saling mengenal satu sama lain digabungkan bersama-sama, mereka akan merespon dengan berkelahi dan saling mematuk. Akhirnya kelompok itu akan membentuk suatu “urutan patukan” yang jelas- suatu hirarki dominansi yang kurang lebih linier.

3.         Teritorialitas
Suatu teritorial adalah suatu daerah yang dipertahankan oleh seekor individu hewan yang umumnya mengusir anggota lain dari spesiesnya sendiri. Teritorial secara khusus digunakan untuk pencarian makanan, perkawinan, membesarkan anak, atau kombinasi aktivitas tersebut. umumnya lokasi teritorial sudah tetap, dan ukurannya bervariasi menurut spesies, fungsi-fungsi teritorial, dan jumlah sumber daya yang tersedia.
Pada banyak spesies yang mempertahankan teritorial hanya pada musim kawin, individu dapat membentuk kelompok sosial pada waktu lainnya.

4.         Sistem Perkawinan
Perilaku kawin berhubungan langsung dengan kelestarian hidup hewan. Terdapat suatu hubungan yang erat antara perilaku kawin yang diamati dengan jumlah keturunan, yang seringkali menjadi penentu utama kelestarian hidup seekor hewan. Banyak hewan yang terlibat dalam percumbuan, yang mengumumkan bahwa hewan yang terlibat tidak dirasa mengancam merupakan pasangan kawin yang potensial. Pada sebagian besar spesies, hewan betina memiliki banyak investasi parental dibandingkan dengan hewan jantan dan kawin secara lebih selektif. Hewan jantan pada sebagian besar spesies berkompetisi untuk mendapatkan pasangan kawin, hewan betina pada banyak spesies terlibat dalam penilaian, atau penyeleksian hewan jantan berdasarkan ciri-ciri yang lebih disukai. Pada banyak spesies, perkawinan adalah bersifat promiscuous, tidak ada ikatan pasangan yang kuat atau hubungan yang bertahan lama. Pada spesies di mana pasangan kawin masih tetap bersama-sama selama periode waktu yang lama, hubungan itu bisa bersifat monogamy (satu jantan mengawini satu betina) atau poligami (individu dari satu jenis kelamin mengawini beberapa individu dari jenis kelamin yang berlawanan). Hubungan poligami yang paling sering melibatkan seekor jantan tunggal dengan banyak hewan betina, disebut poligini. Namun demikian, pada beberapa spesies seekor betina kawin dengna beberapa jantan, disebut poliandri (Campbell.2004).

5.         Perilaku Makan
Hewan beragam dalam keluasan cita rasanya. Dari yang sangat khusus hingga ke pemakan umum yang dapat memilih di antara sekumpulan spesies yang dapat dimakan. Tujuan makanan ialah energi, tetapi energi diperlukan untuk mencari makanan. Jadi hewan berperilaku sedemikian rupa untuk memaksimumkan perbandingan kerugian/ keuntungan dari pencarian makanan itu. Kerugian energi dari mencari makanan diusahakan seminimum mungkin melalui perkembangan “citra mencari” untuk macam makanan yang, untuk sementara, menghasilkan keuntungan yang besar. Untuk beberapa species, citra mencari itu mungkin bukan perwujudan makannya saja, melainkan tempatnya yang khusus. Banyak pula hewan yang menggunakan energinya untuk membangun perangkap, daya tarik dan sejenisnya untuk menarik mangsanya agar berada dalam jangkauannya. Sebagian besar kehidupan hewan sosial berkisar pada makan bersama.
Perilaku makan berbeda-beda pada masing-masing spesies hewan. Contohnya pada Monyet rhesus. Monyet rhesus adalah binatang siang (diurnal) yang hidup di pohon-pohon maupun di permukaan tanah. Umumnya ia herbivora dan memakan daun-daunan dan daun pinus, akar-akaran, dan kadang-kadang serangga atau binatang-binatang kecil. Monyet ini mempunyai pipi yang khusus seperti kantung, yang memungkinkannya menimbun makanannya. Bahan makanan yang sudah dikumpulkan akan dimakannya belakangan di daerah yang aman. Selain itu, Monyet-monyet yang menemukan makanan biasanya akan mengumumkan hal ini dengan panggilan-panggilan yang khas, meskipun ada yang mengatakan bahwa monyet-monyet muda atau yang rendahan kadang-kadang akan berusaha menghindari hal itu apabila temuan mereka tidak diketahui (Budhi.11 Oktober 2010).

2.2 Penginderaan bunyi secara tympanal pada jangkrik
Penginderaan bunyi secara tympanal melibatkan suatu tympanum  (membran) yang dapat merespon bunyi yang dihasilkan di tempat dengan jarak tertentu dan dihantarkan melalui udara (air-borne vibration). Membran tympanal  berhubungan dengan chordotonal organ dan suatu kantung berisi udara.    Kantung udara yang biasanya merupakan modifikasi dari tracheae, berfungsi untuk  resonansi gelombang agar suara yang diterima menjadi lebih kuat. Letak  tympanal  organ  berbeda-beda  dari  kelompok  serangga  ( jangkrik ) yang  satu  ke serangga ( jangkrik ) yang lain misalnya:
§   Ventral thorax, antara kaki-kaki metathorax (pada melalang sembah, mantids)
§   Metathorax (pada ngengat malam, noctuid moths)
§   Kaki-kaki prothorax (pada beberapa orthoptera)
§   Abdomen (pada orthoptera yang lain, gareng po homoptera, ngengat lepidoptera dan kumbang coleoptera)
§   Pangkal sayap (ngengat lepidoptera)
§   Prosternum (lalat diptera)
§   Cervical membranes (beberapa kumbang coleptera)
        Gelombang bunyi yang sampai pada tympanal organ baik melalui udara maupun melalui subtrat menyebabkan tympanum bergetar. Getaran tersebut akan diterima oleh tiga chordotonal organ yaitu subgenual organ, intermediate organ dan crista acustica. Intermediate organ menerima signal akustik dengan frekuensi 2–14 kH sedangkan crista acustica yang terdiri dari sekitar 60 sel skolopodial menerima frekuensi sekitar 5–50 kHz. Walaupun masing-masing chordotonal  organ mempunyai inervasi syaraf yang terpisah dan menerima gelombang dengan  frekuensi yang berbeda-beda, tetapi signal-signal yang diterima oleh ketiga organ tersebut dapat diindera dan ditafsirkan secara terpadu. Hal ini dimungkinkan  karena ketiga syaraf tersebut terhubung pada suatu titik.
2.3 Perbedaan jangkrik jantan dan jangkrik Betina
     Didalam suatu jenis binatang pasti ada yang membedakan antara betina dan jantannya misalnya bisa dilihat dari jenis kelaminnya yang jika kelihatan untuk jenis binatang yang besar kalau untuk binatang yang kecil seperti jangkrik ini sulit membedakan antara jangkrik jantan dan jangkrik betina. Ataupun dengan melihat dari tampang untuk yang ahli ataupun untuk yang sudah kenal karakteristik dari binatang yang sudah seseorang pelihara dan untuk hal ini pula sangat sulit membedakan antara jangkrik jantan dan betina. perbedaan antara jangkrik jantan dan betina bahwa jangkrik jantan dan betina itu terletak pada ekornya.
     Jika jangkrik itu jantan bisa dilihat dari ekornya ada dua dan jangkrik betina ditandakan dengan ekor yang berjumlah dua. Sedangkan untuk jangkrik betina berjumlah ekornya adalah 3 dengan penjelasan ekor yang satu adalah yang menonjol ditengah adalah alat untuk mengeluarkan telur pada, jadi itulah yang membedakan antara jangkrik jantan dan betina.
       

BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1   Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktikum telah dilaksanakan pada :
Hari, tanggal         : Jumat, 16 Desember 2011
Pukul                     : 13.30 – 14.30 WIB
Tempat                  : Laboratorium Biologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan dirumah.

3.2  Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang di gunakan dalam praktikum ini yaitu :
a.         Alat
·           Terrarium ( baskom atau akuarium kecil )
·           Korek api
·           Cat Penanda Jangkrik
b.         Bahan
·           Jangkrik Jantan 7 ekor ( sudah dalam keadaan di isolasi +/- 24 jam )
Jangkrik betina 2 ekor ( sudah dalam keadaan di isolasi +/- 24 jam )

3.3  Cara Kerja
1.         Agresi dan Hirarkhi dominansi
a.         Memasukkan 5 ekor jangkrik jantan yang telah diberi tanda toraknya ke dalam terarium. Setiap jangkrik harus sudah mengalami isolasi sekurang-kurangnya selama 24 jam..
b.        Mengamati apa yang terjadi ketika dua ekor jangkrik berdekatan/saling berhadapan.
c.         Membuat etogram tingkah laku agonistik yang tampak pada waktu pengamatan. Membuat etogram secara kronologis mulai pada waktu jangkrik  berdekatan/berhadapan sampai kalau mungkin terjadi perkelahian.
d.        Mencatat perubahan pola tingkah laku dan keras lemahnya suara. memperhatikan juga apakah    respon jangkrik jantan tergantung pada mendekatnya jangkrik jantan yang lain.
e.         Menentukan ada tidaknya hirarkhi dominansi dengan membuat tabel seperti berikut ini. Jika ada hirarkhi tentukan waktu yang diperlukan untuk mencapai kestabilan.
f.         Memasukkan seekor jangkrik betina ke dalam terarium tersebut. mengmati dan berapa lama    waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hirarki dominansi yang stabil? membandingkan dengan ketika tanpa jangkrik betina?
g.        Mencatat hasil pengamatan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tabel hierarki dominansi pada jangkrik 
Jangkrik
a
B
C
d
E
A





B





C





D





E






2.         Teritorialitas
a.         Menyiapkan 1 terarium yang sudah dilengkapi dengan sebuh kotak korek api yang terbuka salah satu ujungnya, letakkan pada salah satu sudut terarium.
b.        Memasukkan ke dalam setiap terarium seekor jangkrik jantan. Biarkan selama sekurang-kurangnya satu  hari.
c.         Memasukkan 2 jangkrik jantan (bukan dari perlakuan 1) ke dalam terarium. Amati  apa  yang  terjadi. Perhatikan:
1)        Apakah terlihat adanya tingkah laku teritorial pada jangkrik pertama (resident male)?  Bagaimana bentuknya?
2)        Apakah jangkrik pendatang berusaha merebut territorial resident male? Setelah selesai pengamatan keluarkan 2 ekor jangkrik jantan pendatang  tersebut.
d.        Melakukan pengujian dengan menggunakan 5 jangkrik jantan yang sudah diketahui jenjangnya dalam hirarkhi dominansi. Dapatkah resident male mempertahankan rumahnya/teritorialnya dari jangkrik yang dominan  terhadapnya.  Setelah  selesai pengamatan keluarkan 5 jangkrik jantan tersebut.
e.         Menambahkan 1 kotak korek api pada sudut yang berlawanan letaknya dengan perlakuan  D. Masukkan 3 ekor jangkrik jantan yang jenjangnya dalam hirarki dominansinya sudah diketahui. K emudian jawablah pertanyaan berikut ini :
1)      Jangkrik mana yang berhasil mempertahankan teritorialnya?
2)      Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kestabilan  territorial?
3)      Ambilah jangkrik yang tidak memperoleh rumah. Apakah perebutan teritoial terjadi  diantara dua jangkrik yang memiliki rumah?
4)      Masukkan seekor jangkrik betina. Amati apa yang terjadi?


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil pengamatan
Praktikum ini di lakukan di Laboraturium Biologi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.30 dan di komplek Untirta pada tanggal 18 Desember pukul 10.00
          1. Agresi dan Hirarki Dominansi
Jangkrik
1
2
3
4
5
1
-
-
-
1
5
2
-
-
-
4
-
3
-
-
-
-
5
4
-
-
-
-
-
5
-
-
-
-
-
                        
          2. Teritorialitas




Tabel 1

Jangkrik 1
Jangkrik 2
Ressident male
R
R

Tabel 2
Korek I
Korek II
Ditempati oleh resident male

·         Resident male diusir oleh jangkrik 1
·         Diisi oleh jangkrik 5
·         Jangkrik 5 mengusir jangkrik 1
·         Jangkrik 1 masuk
·         Jangkrik 1 kembali ke tempat asal
·         Jangkrik 5 kembali ke tempat  semula

Setelah dimasukkan betina
ü  Jangkrik 5 mengembangkan  dan menggerakkan sayapnya
ü  Jangkrik betina kemudian tertarik dengan  jangkrik 5
ü  Jangkrik 1 mulai tertarik terhadap  jangkrik betina
ü  Jangkrik 1 dan 5 berkelahi  memperebutkan betina
ü  Jangkrik 5 menang, kemudian  terjadi perkawinan antara jangkrik 5 dengan jangkrik betina
ü  Jangkrik 1 mengembangkan dan menggerakkan sayapnya
ü  Jangkrik betina kemudian tertarik dengan  jangkrik 1
ü  Jangkrik betina melakukan poliandri karena melakukan perkawinan dengan jangkrik 1 dan jangkrik 5
ü  Jangkrik betina sudah  tidak  tertarik dengan jangkrik 1
ü  Jangkrik betina tertarik kembali dengan  jangkrik 5 dan kembali melakukan perkawinan.

4.2 Analisis data
1. Agresi dan Hirarki Dominansi
                  Etogram yang teramati :
Pada pengamatan yang telah dilakkan bahwa:
·         Jangkrik 1 mengejar jangkrik 4
·         Jangkik 4 mendekati jangkrik 2,  kemudian jangkrik 2 meloncat  sehingga Jangkrik 4 mendominasi
·         Jangkrik 1 menghindar kemudian  Jangkrik 5 bunyi dan antenanya bergerak
·         Jangkrik 5 berhadapan dengan jangkrik 3 kemudian jangkrik 3 kabur
·         Betina mendekati jangkrik 5 tetapi jangkrik 5 menjauh
·         Jangkrik 5 berbunyi dan tertarik pada jangkrik betina
·         Jangkrik 5 dan jangkrik 1 berkelahi, yang menang jangkrik 1.

             Dari praktikum yang kami lakukan diketahui bahwa suara yang paling nyaring adalah suara dari jangkrik 1, dan memang jangkrik 1 merupakan jangkrik yang hirarkhi dominansinya paling tinggi di antara jangkrik yang lain. Suara berpengaruh  ketika dimasukkan individu betina dalam terrarium ( baskom), usaha dari individu jantan untuk menarik perhatian individu betina dengan cara berjalan mendekati individu betina sambil terus mengeluarkan suara. Dari tingkah laku jantan juga dapat terlihat adanya orientasi, yaitu mengarahkan individu betina dengan cara berjalan didepan individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkah laku agonistik, yaitu makanan, teritorialitas, seksualitas, dan hirarkhi dominansi.
              Dari data hasil pengamatan diketahui bahwa pada praktikum yang dilakukan termasuk hirarkhi dominansi yang kompleks tipe dendritik. Karena seekor jangkrik dapat mendominasi lebih dari seekor jangkrik yang ada di akuarium ( baskom), dan dari dua atau lebih ekor jangkrik yang mendominasi, ada seekor jangkrik yang paling dominan. Seperti yang terlihat pada tabel hirarkhi dominansi bahwa jangkrik 5 dominan dari jangkrik 2, 3, dan 4, namun ada jangkrik yang lebih dominan dari jangkrik 5,  yaitu jangkrik 1. Waktu untuk mencapai keadaan stabil pada masing-masing tingkah laku agonistik jangkrik 7 menit 7 detik. Jika diurutkan dari jangkrik yang dominansinya paling tinggi ke rendah yaitu jangkrik 1, 5, 4, 2, dan 3.  Terdapat perbedaan waktu yang digunakan untuk mencapai hirarkhi dominansi antara sebelum diberi jangkrik betina dan setelah diberi jangkrik betina. Rata-rata hitungan waktu yang diperlukan untuk mencapai hirarkhi dominansi pada saat sebelum ada jangkrik betina dalam hitungan detik yaitu 15 detik, sedangkan setelah diberi jangkrik betina untuk mencapai hirarkhi yang stabil dalam hitungan menit yaitu 6 menit. Perbedaan waktu tersebut dapat dipengaruhi karena setelah diberi jangkrik betina, tingkah laku agonistik yang muncul tidak hanya dipengaruhi untuk mencapai hirarkhi dominansi, melainkan ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu seksualitas. Kehadiran individu betina menyebabkan pencapaian kondisi hirarkhi yang stabil dalam waktu yang lama. Karena, selain untuk mencapai hirarkhi dominansi, timbul rangsangan seksual pada individu jantan untuk mendapatkan pasangan. Sehingga terjadi perebutan antar individu jantan untuk mendapatkan individu betina. Individu jantan yang kalah, cenderung lebih sulit untuk mendapatkan individu betina, karena individu jantan yang menang akan menghalau individu yang kalah untuk mendekati individu betina. Sehingga hanya individu jantan yang menang yang dapat mendekati betina.



2. Teritorialitas
Dari data hasil pengamatan (tabel 1) diketahui bahwa ketika ada dua pendatang yaitu jangkrik 1 dan jangkrik 2 yang berusaha merebut territorial, resident male berusaha untuk mempertahankan teritorialnya.  Hal itu dapat terlihat dari suara yang dikeluarkan oleh resident male ketika ia merasa terusik dengan kehadiran jangkrik pendatang. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kestabilan yaitu 10 menit.
Dari data hasil pengamatan  (tabel 2) dengan menggunakan 2 buah kotak korek api, keadaan yang terjadi ketika  dimasukkan  3 pendatang baru yaitu jangkrik 1, jangkrik 4, dan jangkrik 5, resident male pada awalnya tetap berusaha mempertahankan teritorialnya yaitu kotak korek api A.  Namun yang terjadi setelah beberapa  menit kemudian, resident male ternyata dapat dikalahkan oleh jangkrik pendatang  yaitu  jangkrik 1.  Faktor yang menyebabkan resident male tidak bisa mempertahankan teritorialnya yaitu adanya dominasi dari jangkrik 1 yang lebih kuat dibandingkan dengan resident male yang akhirnya dapat mengalahkan resident male.
Pada kotak korek api A ditempati oleh jangkrik 1, sedangkan kotak korek api B ditempati oleh jangkrik 5. Kemudian terjadi perebutan teritorial pada kotak korek api A antara jangkrik 1 dengan  jangkrik 5 yang dimenangkan oleh jangkrik 5 dan terjadi pertukaran tempat. Sehingga kotak korek api A ditempati oleh jangkrik 5 dan kotak korek api B ditempati oleh jangkrik 1. Namun  setelah beberapa menit kemudian kedua jangkrik tersebut kembali berpindah ke tempat asal. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kestabilan yaitu 12 menit.




Ketika dimasukkan individu betina pada akuarium, kembali terjadi tingkah laku agonistik yang dipengaruhi oleh faktor seksualitas. Individu jantan yang lebih dominan (jangkrik 5 berusaha menghalau individu jantan lain yang berusaha mendekati individu betina dengan cara mengejar individu jantan lain (jangkrik 1). Jangkrik 5, resident male mengeluarkan suara dan berjalan didepan jangkrik betina untuk menarik perhatian individu betina, waktu yang di perlukan 8 menit. Waktu untuk mencapai kestabilan 10 menit. Kemudian jangkrik 5 mengitari jangkrik betina dan berusaha mengajak jangkrik betina menuju sarangnya. Setelah sampai disarang, jangkrik jantan dan betina melakukan kopulasi. 

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil adalah:
1.            Perilaku dihasilkan oleh gen dan faktor lingkungan.
2.            Perilaku sendiri memiliki arti sikap dan gerak organisme berespon dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
3.            Perilaku hewan ada dua jenis, yakni Perilaku bawaan (Innate Behaviour) dan Perilaku hasil pembelajaran (Learned Behaviour)
4.            Hirarki dominansi bersifat linear dan kompleks.
5.            Umumnya jangkrik yang berada pada daerah teritorialnya bersifat dominan terhadap hewan pendatang.
6.            Perilaku sosial hewan antara lain perilaku aganostik, hirarki dominansi, dan teritorialitas.
7.            Praktikum yang dilakukan termasuk hirarkhi dominansi yang kompleks tipe dendritik, karena seekor jangkrik dapat mendominasi lebih dari seekor jangkrik yang ada di akuarium ( baskom), dan dari dua atau lebih ekor jangkrik yang mendominasi, yaitu jangkrik 1.
8.            Waktu untuk mencapai kestabilan pada hirarki dominansi membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum adanya jangkrik betina karena jangkrik jantan membutuhakan  penyesuain dengan individu atau lingkungan baru.
9.            Teritorialitas resident male lebih mendominasi dari jangkrik pendatang karena resident male lebih dominan dari pendatang.
10.        Resident male tidak dapat mempertahankan daerah teritorialitas dari 5 jangkrik yang hirarki dominansi telah di ketahui dari pengamatan 1.


DAFTAR PUSTAKA

·         Anonim. 2011.”Macam dan Jenis Adaptasi Makhluk Hidup-Morfologi Fisiologi dan Tingkah Laku- untuk Menyesuaikan Diri”. http://organisasi.org/macam-jenis-adaptasi-makhluk-hidup-morfologi-fisiologi-dan-tingkah-laku-untuk-menyesuaikan-diri.
Diakses pada hari Selasa, 20 Desember 2011 pada pukul 11.00 WIB
·         Anonim. 2011.”Perilaku Insecta“.
 Diakses  pada hari selasa, 20 Desember  2011 pada pukul 11.45 WIB.
·         Campbell, Neil A. dkk.2004.Bioogi Jilid III(ed.5).Jakarta:Erlangga
·         Susilowati, dkk. 2001. Tingkah Laku Hewan.. Malang: FMIPA UM
·         Susilowati, Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM
http://ad-dhi3n.blogspot.com/2012/03/laporan-agonistik-pada-perilaku.html
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar